Jumat, 20 Januari 2017

Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsipprinsip hukum atau syariah Islam, seperti diatur dalam Al Qurʹan dan Al Hadist. Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Adanya Perbankan syariah di Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam.Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang ada,dari 80% penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10% di antara mereka yang bertransaksi secara syar’I lebih-lebih dalam hal perbankan.Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum mampu menunjukan eksistensinya,banyak masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan terhadap perbankkan syariah.
Bahkan para ulama-ulama di negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bank syariah dan berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Hal tersebut menjadi landasan untuk menyadarkan masyarakat akan keurgenan perbankkan islam di Negara ini. Khusunya bagi mereka yang beragama islam.Upaya-upaya pensosialisaian mekanisme dan syariah di rasa perlu,sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang tidak islami dan masyarakat kembali manaruh kepercayaan terhadap transaksi syariah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejara singkat bank syariah?
2.      Apa saja produk bank syariah?
3.      Bagaimana krastristik penilaian kesehatan bank syariah?

C.     Tujuan Penyusunan
1.      Mengetahui sejarah singkat bank syariah.
2.      Menegtahui produk produk bank syariah.
3.      Menegetahui cara penilaian kesehatan bank syariah.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Bank Syariah
Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha antar bank yang semakin tajam dewasa ini telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan baru dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.
B.     Sejarah Perbank-kan Syariah
Sejarah Perbankan Syariah Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.
Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.
Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.
C.     Sejarah Bank Syariah di Indonesia
Sejarah bank syariah di Indonesia dapat kita telusuri kehadirannya dengan merunut aturan atau regulasi yang berkaitan dengan perbankan di Indonesia. Pengertian Bank syariah sebagai salah satu badan usaha di bidang keuangan tentunya harus memiliki regulasi perbankan sebagai landasan hukum dalam menjalankan usahanya tersebut.
Kehadiran pertama bank syariah di Indonesia dipelopori oleh berdirinya Bank Muamalat pada tahun 1991 dan mulai beroperasi penuh tahun 1992. Untuk mengetahui runutan sejarah hingga kehadiran sejumlah bank syariah di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut :
Tahun 1967-1983
Lahirnya Regulasi Perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Dalam pasal 13 huruf c diterangkan bahwa dalam usaha bank di dalam operasinya menggunakan sistem kredit dan tidak mungkin melaksanakan kredit tanpa mengambil bunga. Hal ini karena konsep bunga ini melekat dalam pengertian kredit itu sendiri. Lalu era tahun 1980an terjadi kesulitan pengendalian tingkat bunga oleh Pemerintah karena Bank-Bank yang telah didirikan sangat tergantung kepada tersedianya likuiditas Bank Indonesia sehingga Pemerintah mengeluarkan Deregulasi 1 Juni 1983 yang membuka belenggu tingkat bunga ini. Deregulasi ini menimbulkan kemungkinan bagi Bank untuk menentukan tingkat bunga sebesar 0% yang merupakan penerapan sistem perbankan syariah melalui perjanjian murni sesuai prinsip bagi hasil.
Tahun 1988
Terhitung sejak adanya deregulasi 1 Juni 1983, lima tahun kemudian yakni pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang bisnis di bidang perbankan seluas-luasnya. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Maka pada tanggal 27 Oktober 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank baru selain bank yang telah ada. Pada era ini, dimulailah pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah di beberapa daerah. Kemudian Majelis Ulama Indonesia melangsungkan Musyawarah Nasional IV pada tahun 1990 dimana hasil Munas tersebut mengamanatkan untuk membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Tahun 1991 - sekarang
Tahun 1991, Bank Mualamat Indonesia kemudian lahir sebagai kerja tim perbankan MUI tersebut dan mulai beroperasi penuh setahun kemudian. Pada periode ini, Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang memperkenalkan sistem perbankan bagi hasil. Dalam pasal 6 huruf (m) dan pasal 13 huruf (c) menyatakan bahwa salah satu usaha bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil. Ketentuan ini menandai dimulainya era sistem perbankan ganda (dual banking sistem) di Indonesia, yaitu beroperasinya sistem perbankan umum dan sistem perbankan dengan prinsip bagi hasil. Dalam sistem perbankan ganda ini, kedua sistem perbankan secara sinergis dan bersama-sama memenuhi kebutuhan masyarakat akan produk dan jasa perbankan, serta mendukung pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional.
Kemudian pada tahun 1998, terjadi perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjadi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Perubahan itu semakin mendorong berkembangnya keberadaan sistem perbankan syariah di Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang ini, Bank Umum Umum diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, yaitu melalui pembukaan UUS (Unit Usaha Syariah). Bank umum dapat memilih untuk melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan sistem umum atau berdasarkan prinsip syariah atau melakukan kedua kegiatan tersebut. Sehingga kemudian tahun 2008, keluarlah UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang melengkapi minimnya regulasi perbankan syariah selama ini.
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 mengatur beberapa ketentuan baru di bidang perbankan syariah, antara lain otoritas fatwa dan komite perbankan syariah, pembinaan dan pengawasan syariah, pemilihan dewan pengawas syariah (DPS), masalah pajak, penyelesaian sengketa perbankan, dan konversi unit usaha syariah (UUS) menjadi bank umum syariah (BUS). Lalu Undang-undang ini memberikan keleluasaan dalam pengembangan perbankan syariah sehingga memberi peluang besar ke depannya. Keleluasaan itu antar lain adalah : Pertama, Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) tidak bisa dikonversi menjadi Bank Umum. Sedangkan Bank Umum dapat dikonversi menjadi Bank Syariah (Pasal 5 ayat 7). Kedua, bila terjadi penggabungan (merger) atau peleburan (akuisisi) antara Bank Syariah dengan Bank Non Syariah wajib menjadi Bank Syariah (Pasal 17 ayat 2). Ketiga, bank umum umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) harus melakukan pemisahan (spin off) apabila (Pasal 68 ayat 1), UUS mencapai asset paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya; atau 15 tahun sejak berlakunya UU Perbankan Syariah.
Lalu banyak kegiatan usaha yang tidak dapat dilakukan oleh jenis bank umum namun dapat dilakukan oleh BUS. Di antaranya, bank syariah bisa menjamin penerbitan surat berharga, penitipan untuk kepentingan orang lain, menjadi wali amanat, penyertaan modal, bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun juga menerbitkan, menawarkan serta memperdagangkan surat berharga jangka panjang syariah. Dan kemudian perbankan syariah dapat menjalankan layanan yang sifatnya sosial. Misalnya menyelenggarakan lembaga baitul mal yang bergerak menerima dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya kemudian menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
Sejarah bank syariah di Indonesia, pertama kali dipelopori oleh Bank Muamalat Indonesia yang berdiri pada tahun 1991. Bank ini pada awal berdirinya diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta mendapat dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Pada saat krisis moneter yang terjadi pada akhir tahun 1990, bank ini mengalami kesulitan sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba.
Sampai tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

D.    Produk Perbankan Syariah
Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1.      Al-wadi’ah (Simpanan)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja bila si penitip menghendaki.Penerima sim­panan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si pe­nyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan keru­sakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari kela­laian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan. Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang ter­sebut secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad adh-dhamanah (tangan penanggung).
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadh’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi (bank) boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank. Pemilik dana tidak mendapat imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan. Dalam praktiknya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk simpanan deposito.
   2.      Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
 a.       Al-musyarakah (Partisipasi Modal)
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau le¬bih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak membe¬rikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.
b.      Al-mudharabah
Pengertian Mudharabah dapat didefinisikan sebagai sebuah akad atau perjanjian diantara dua belah pihak, dimana pihak pertama sebagai pemilik modal (shahib al-mal atau al-mal), memercayakan kepada pihak kedua atau pihak lain (pengusaha), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Apabila mengalami kerugian maka akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola, maka sipengelolalah yang bertanggug jawab.Dan didalam prktiknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni:
a) mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
b) mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti, pembiayaan mo¬dal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan.
Dan keistmewaan dari sebuah mudharabah adalah pada peran ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib adalah wakil dari rabb al- mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika ada keuntungan.


c.       Al-muzara’ah
Pengertian AI-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan ka¬sus ini diaplikasikan untuk pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.
Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati.
d.      Al-musaqah
Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pe¬meliharaan dengan menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.
3.       Bai’al Murabahah
Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya.
Sebagai con¬toh harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan yang diharap¬kan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp 105.000,-. Kegiatan Bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepa¬katan dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan kegiatan Bai’al-Murabahah pada pembiayaan pro¬duk barang-barang investasi baik dalam negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal dengan nama L/C.


4.      Bai’as-Salam
Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemu¬dian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
5.      Bai’al Istishna’
Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad Bai’as¬salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat ba¬rang). Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.
6.      Al-Ijarah (Leasing)
Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas ba¬rang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam praktiknya kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan operating lease maupun financial lease.
7.      Al-Wakalah (Amanat)
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pem¬beri mandat.
8.      Al-Kafalah (Garansi)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung ke¬pada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat di¬lakukan dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.

9.       Al-Hawalah
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang ber¬utang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pi-hak. Dalam dunia keuangan atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.
10.  Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.
Selain itu produk pemberian jasa lainnya, seperti:
Jasa penerbitan L/C
Jasa Transfer
Jasa Inkaso
Bank Garansi
Menerima Zakat, Infak, dan Sadaqoh (untuk disalurkan)
E.     Penilaian Kesehatan Bank Syariah
Kesehatan suatu bank merupakan semua kepentingan semua pihak yang terkait, baik  pemilik, pengelola bank dan masyarakat pengguna jasa bank. Sehubungan dengan itu Bank Indonesia selaku pembina dan pengawas perbankan merupakan tata cara penilaian kinerja bank umum syariah (sementara menunggu KPMM dan ATMR khusus bank syariah yang masih dalam proses) mengacu ketentuan sebagaimana diberlakukan pada bank konvensional.
1.      Dasar dan sistem penilaian kesehatan bank syariah
Tingkat kesehatan bank pada dasarnya dinilai dengan pendekatan kualitatif dengan mengadakan penilaian atas faktor-faktor yanhg dinilai.
Setiap faktor yang dinilai terdiri dari beberapa komponen dimana masing-masing faktor beserta komponennya diberikan bobot yang besarnya disesuaikandengan pengaruh terhadap kesehatan bank.
Penilaian faktor komponen dilakukan dengan sistem kredit (reward system) yang dinyatakan dalam nilai kredit sebesar 0 hingga 100. Hasil penilaian atas dasar bobot dan nilai kredit dari berbagai faktor yang dinilai (CAMEL) dapat dikurangi dengan nilai kredit atas pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang sanksinya dikaitkan dengan penilaian tingkat kesehatan bank.
2.      Faktor-faktor yang dinilai
Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penilaian kesehatan bank pada umumnya dan bank syariah pada khususnya adalah sebagai berikut.
a.       Faktor permodalan (Capital)
Faktor permodalan merupakan faktor yang sangan penting bagi bank dalam rangka pengembangan usaha serta untuk mencari resiko kerugian, baik perlindungan terhadap pemilik dana yang ditempatkan pada tabungan, simpanan berjangka juga terhadap resiko pinjaman yang diberikan kepada nasabah.
Yang dinilai dalam aspek permodalan adalah:
a)      Kecukupan, proyeksi permodalan dan kemampuan permodalan dalam menkover risiko.
b)      Kemampuan mememlihara kebutuhan penambahan modal yang berasal dari keuntungan, rencana permodalan untuk mendukung pertumbuhan usaha, akses kepada sumber permodalan dan kinerja keuangan pemegang saham.
Besarnya permodalan dipengaruhi atas kemampuan atas kemampuan dan kepatuhan suatu bank terhadap KPMM (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum) yang saat ini berlaku sebesar 8%.
Penilaian terhadap pemenuhan KPMM ditetapkan sebagai berikut:
1)      Pemenuhan KPMM sebesar 8% diberi predikat “Sehat” dengan nilai kredit 81, dan untuk setiap kenaikan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 8% nilai kreditnya ditambah 1 hingga maksimal 100.
2)      Pemenuhan KPMM kurang dari 8% sampai dengan 7,9% diberi predikat “Kurang Sehat” dengan nilai kredit 65 dan setiap penurunan 0,1% dari pemenuhan KPMM sebesar 7,9% nilai kredit dikurangi 1 dengan minimum 0.
b.      Faktor aktiva produktif
Penilaian terhadap faktor Kualitas Aktiva Produktif (KAP) didasarkan pada 2 rasio, yaitu:
1)      Rasio Aktiva Produktif yang diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif sehingga dapat diketahui tingkat kemungkinan diterima kembali dana telah ditanamkan pada suatu investasi/pembiayaan. Rasio Aktiva Produktif yang diklasifikasikan terhadap Aktiva Produktif sebesar 15,5% atau lebih diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap penurunan 0,15% mulai dari 15,5% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100
2)      Rasio Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang dibentuk oleh bank terhadap Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif yang wajib dibentuk bank sebesar 0%diberi kredit 0 dan untuk setiap kenaikan 1% dimulai dari 0 nilai kredit ditambah 1 dengan maksimal 100
c.       Faktor Manajemen
Manajemen suatu bank akan menentukan sehat tidaknya suatu bank. Pengelolaan suatu manajemen sebuah bank mendapatkan peerhatian yang lebih besar dalam penilaian tingkat kesehatansuatu bank diharaapkan dapat menciptakan dan memelihara kesehatannya.
Penilaian faktor manajemen dalam penilaian tingkat kesehatan bank umum dilakukan dengan melakukan evaluasiterhadap pengelolaan terhadap bank yang bersangkutan. Penilaian tersebut dilakukan dengan menggunakan sekitar seratus kuesioner yang dikelompokkan dalam dua kelompok besar yaitu manajemen umum dan manajemen resiko. Kuesioner kelompok manajemen umumselanjutnya dibagi ke dalam sub kelompok pertanyaan yang berkaitan dengan strategi, struktur, sistem, sumber daya manusia, kepemimpinan dan budaya kerja. Sementara untuk kuesioner manajemen resiko dibagi dalam sub kelompok yang berkaitan dengan resiko likuiditas, resiko pasar, resiko kredit, resiko operasional, resiko hukum dan resiko pemilik dan pengurus.

Kuesioner keompok nmanajemen umum diantaranya adalah sebagai berikut:
1)      Strategi
a)      Bank mempunyai strategi usaha yang berfungsi sebagai pedoman umum yang memadai dalam mensapai misi atau sasaran umum.
b)      Dalam menetapkan rencana kerja tahunan manajemen bank telah memperhatikan kemampuan intern dan faktor ekstern yang mempengaruhi usaha bank.
2)      Struktur
a)      Bagan organisasi mencerminkan seluruh kegiatan bank, susunan kepengurusan secara berjenjang beserta fungsi-fungsinya.
b)      Pelaksanaan tugas dan pekerjaan didasarkan pada uraian tugas pekerjaan yang tertulis secara spesifik dan jelas.
3)      Sistem
a)      Kegiatan operasional kas dan pengaturan likuiditas dilaksanakan sesuai dengan sistem dan prosedur tertulis.
b)      Kegiatan operasional pengumpulan data (termasuk penerbitan surat-surat berharga, pinjaman luar negeri dan lain-lain).
c)      Pencatatan setiap transaksi dilakukan secara akurat dan laporan keuangan disusun tepat waktu serta sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang berlaku.
4)      Sumber daya manusia
a)      Penerimaan pegawai dilaksanakan secara objektif dan terbuka sesuai dengan sistem dan prosedur yang berlaku
b)      Sistempendidikan dan pelatihan memberi kesempatan pengembangan pegawai secara memadai
c)      Penilaian kinerja pegawai didasarkan pada sistem penilaian yang objektif dan terbuka.
5)      Kepemimpinan
a)      keputusan-keputusan yang bersifat operasional dilakukan oleh pihak manajemen secara independen.
b)      Pimpinan bank pada umumnya memiliki keterampilan dan menguasai bidang tugas yang dikelolanya.
c)      Manajemen senantiasa menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian dan keterbukaan dalam rangka memelihara tingkat kepercayaan masyarakat.
6)      Budaya kerja
a)      Komunikasi antara pimpinan dan bawahan berjalan secaraefektif
b)      Direksi serta karyawan senantiasa disiplin dan memiliki komitmen dalam melaksanakan pekerjaan
c)      Kekompakan antar karyawan mendorong terciptanya suasana kerja yang baik
Kuesioner keompok nmanajemen umum diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Resiko likuiditas
a)      Sumber pendanaan bank tidak tergantung kepada dana yang labil, seperti dana antar bank
b)      Bank memperhitungkan kesesuaian jangka waktu antara sumber dengan penanamannya
2.      Resiko pasar
a)      Bank mengevaluasi perkembangan tingkat suku bunga pasar dan menetapkan tingkat suku bunga simpanan dan kredit
b)      Bank melakukan evaluasi secara berkala terhadap portofolio aktiva produktifnya.
3.      Resiko kredit
a)      Dalam memberikan kredit bank malakukan analisi yang mendalam tarhadap biaya yang dibiayai sebelum pemberian kredit yang dilakukan
b)      Setelah kredit diberikan bank melakukan pemantauan terhadap kemampuan dan kepatuhan debiturserta perkembangan proyang yang dibiayai.
c)      Bank melakukan peninjauan dan penilaian kembali agunan secara berkala sasuai prosedur yang telah ditetapkan
4.      Resiko operasional
a)      Dalam pemberian kredinya bank memperhitungkan penyebaran atau alokasi atas dasar kegiatan usaha tertentu
b)      Bank memiliki sarana dan sumber informasi yang memadai untuk melaksanakan transaksi valuta asing
d.      Faktor Rentabilitas (Earning)
Salah satu parameter untuk megukur tingkat kesehatan suatu bank adalah kemampuan bank untuk memperoleh keuntungan. Perlu diketahui apabila bank selalu mengalami kerugian dalam kegiatan operasinya maka kerugian tersebut akan memakan modalnya. Bank yang dalam keadaan demikian tentu saja tidak dapat dikatakan sehat.
Penilaian didasarkan pada rentabilitas atau earning suatu bank yaitu melihat kemampuan suatu bank dalam menciptakan laba. Penilaian dalam unsur ini didasarkan pada 2 macam, yaitu:
a)      Rasio laba terhadap Total Assets (ROA/Earning 1)
Penilaian rasio earning 1 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio 0% atau diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap kenaikan 0,015% mulai dari 0% nilai kredit ditambah dengan nilai maksimum100.
b)      Rasio beban opersional terhadap pendapatan operasional (earning 2)
Penilaian earning 2 dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau atau lebih diberi nilai kredit 0 dan setiap penurunan sebesar 0,08% nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100
e.       Faktor likuiditas
Penilaian terhadap faktor likuiditas dilakukan dengan menilai dua buah rasio, yaitu rasio Kewajiban Bersih Antar Bank terhadap modal inti dan rasio Kredit terhadap Dana yang Diterima oleh Bank.
Yang dimaksud Kewajiban Bersih Antar Bank adalah selisih antara kewajiban bank dengan tagihankepada bank lain. Sementara itu yang termasuk dana yang diterima adalah kredit likuiditas Bank Indonesia, giro, deposito dan tabungan masyarakat, deposito dan pinjaman dari bank lain yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan, dan surat berharga yang diterbitkan oleh bank yang berjangka waktu lebih dari tiga bulan.
Liquidity yaitu rasio untuk menilai likuiditas bank. Penilaian likuiditas bank didasarkan atas dua dua macam rasio, yaitu:
1.      Rasi jumlah kewajiban bersih call money terhadap aktiva lancar. Penilaian likuiditas dapat dilakukan sebagai berikut untuk rasio sebesar 100% atau lebih dari diberi nilai kredit 0, dan untuk setiap penurunan sebesar 1% mulai dari nilai kredit ditambah 1 dengan maksimum 100
2.      Rasio antara kredit terhadap dana yang diterima oleh bank. Penilaian likuiditas ini dapat dilakukan untuk rasi 115% atau lebih diberi nilai kredit 0 dan untuk setiap penurunan 1% mulai dari 115% nilai kredit ditambah 4 dengan nilai maksimum 100.



BAB III
KESIMPULAN
Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya.Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan adalah sebagai berikut:
1. Al-wadi’ah (Simpanan)
2. Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
3. Bai’al Murabahah
4. Bai’as-Salam
5. Bai’al Istishna’
6. Al-Ijarah (Leasing)
7. Al-Wakalah (Amanat)
8. Al-Kafalah (Garansi)
9. Al-Hawalah
10.Ar-Rahn
Secara spesifik risiko-risiko yang akan menyebabakan bervariasinya tinngkat keuntungan bank meliputi risiko likuiditas, risiko kredit dan tingkat bunga, dan risiko modal. Namun demikian, bank syariah tidak akan menghadapi risiko bunga,walapun di lingkungan dimana berlaku dual banking system meningkatnya tingkat bunga di pasar konvensional dapat berdampak pada meningkatnya risiko berpindah ke bank konvensional.


DAFTAR PUSTAKA