JUAL
BELI PENDIDIKAN TINGGI
“Seorang
manusia tidak mencapai ketinggian penuh sampai ia dididik”. -Horace Mann -
Pendidikan merupakan
suatu proses yang akan mengantar manusia untuk dapat mengembangkan dialektika
atau pola berpikir agar dapat memberikan jawaban dalam menangapi
problem-problem yang dihadapi, baik dalam konteks individu maupun dalam konteks
sosial. Pendidikan merupakan kendaraan yang akan membawa bangsa kepada
kecerdasan.
Pendidikan merupakan
cerminan suatu bangsa dalam membangun peradaban di negrinya maupun peradaban
dunia. Karut-marut dari sistem pendidikan di suatu Negeri menggambarkan
kualitas dari sumber daya manusia di negara itu sendiri. Sistem pendidikan yang
mendorong rakyatnya untuk senantiasa mengejar pendidikannya, sudah dipastikan
akan lebih mudah mengembangkan bangsa dan negaranya, itulah sebabnya Negara
Dunia I menempatkan pendidikan sebagai investasi utama pada negaranya.
Dunia penididkan
Indonesia masih berada dalam keterpurukan bagi sebagian besar rakyat,
pendidikan selama ini hanya menjadi alat legitimasi bagi penguasa yang
bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Pendidikan bagaikan menara gading,
begitu megah jika dilihat tetapi tidak bisa dirasakan dan dinikmati
keberadaanya oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
International
Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies di Helsinki, Finlandia
pada bulan Maret 2003, telah melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy.
Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara
dunia pertama.
Konsep Knowlegde
Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade
Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang
tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On
trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi
negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan
dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan atau
diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut.
Follow up atau tindak lanjut dari ratifikasi kesepakatan tersebut adalah
membuat Rancangan Undang Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan.
Imbas dari
ditandatanganinya kesepakatan GATS menyebabkan Indonesia turut serta
mengkomersialisasikan pendidikan tinggi dengan adanya rancangan undang undang
(RUU) pendidikan tinggi tahun 2003 atau UU BHP. Konsep ini diterapkan pertama
kali di beberapa Perguruan Tinggi antara lain UGM, UI, ITB, IPB dengan status
Perguruan Tinggi badan hukum milik Negara. (Kompas.com)
Dengan adanya RU BHPT
ini pemerintah melanggar UUD 1945 yaitu pada pasal 28 D ayat 1 dan pasal 31
tentang hak kebebasan dan mendapatkan pendidikan. (Kompas.com) dikarnakan
pemerintah tidak terlibat langsung dalam proses pendidikan tinggi di Indonesia,
sehingga semakin lama biaya pendidikan di Perguruan Tinggi semakin mahal yang
menyebabkan sulitnya masyarakat mencapai pendidikan setinggi mungkin.
Meskipun demikian
adanya RUU BHP anggaran belanja negara untuk pendidikan yang setiap tahunnya terus
naik akan dapat dikurangi serta dapat membuat pihak Perguruan Tinggi negeri PTN
menjadi mandiri dalam mengelola birokrasi serta keuangannya.
Lepasnya
Tanggung Jawab Negara terhadap Pendidikan Tinggi
Lahirnya RUU
BHP merupakan tindak lanjut atau follow up dari UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003.
Tujuannya, agar lembaga/institusi pendidikan berstatus badan hukum, dengan
alasan otonomi, akuntabilitas dan efisiensi. Benarkah demikian? atau justru
sebaliknya? Parahnya, RUU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap
General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal
WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan
koorporasi-koorporasinya yang telah menyeret jutaan rakyat di belahan dunia
dalam kemiskinan dan keterbelakangan.(PERLAWANAN edisi : 7, Oktober 2005, hlm.
5).
Otonomi dalam bentuk
badan hukum ini membuka ruang kebebasan bagi Perguruan Tinggi untuk menjalankan
kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan,
ketenagaan dan sarana prasarana. Menurut pemerintah, otonomi melalui badan
hukum Perguruan Tinggi ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas Perguruan
Tinggi dalam penyelenggaraan Tri Dharma (pendidikan, penelitian dan pengabdian
masyarakat). Secara logika sederhana, peningkatan kualitas pasti akan diikuti
oleh peningkatan biaya yang harus dikeluarkan. Biaya inilah yang kemudian
menjadi salah satu alasan utama ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan
peningkatan kualitas tersebut, disamping faktor-faktor lain tentunya (meski
demikian alasan pemerintah terkait kemampuan pembiayaan Perguruan Tinggi sangat
lemah karena postur anggaran pendidikan yang masih harus dievaluasi dan potensi
penerimaan pajak yang banyak hilang). Melalui PTN Badan Hukum ini, diharapkan
Perguruan Tinggi bisa lebih meningkatkan kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi
dengan lebih fleksibel tanpa ada “kekangan” dari negara dan dapat memperoleh
sumber dana dari pihak lain.
Orang
Miskin Dilarang Kuliah
Upaya komersialisasi pendidikan tinggi oleh
pemerintah ini tertuang dalam pasal 89 ayat (2) yang berbunyi Dana
Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk PTN badan
hukum diberikan dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Menjadi kata kunci karena disitu
terdapat kata subsidi dimana kata ini merupakan kata-kata titipan ideologi
neoliberalisme. Subsidi menjadi pembenar bahwa uang yang digunakan untuk
memenuhi hak warga negara adalah beban bagi keuangan negara sehingga
sewaktu-waktu subsidi dapat dicabut oleh pemerintah dengan berbagai alasan
(harga Bahan Bakar Minyak yang juga dianggap subsidi bisa menjadi contoh).
Memandang pendidikan sebagai jasa tidak bisa dilepaskan juga dari kesepakatan
GATS yang juga ditandangani pemerintah. Pendidikan dianggap sebagai salah satu
sektor yang bisa dijadikan komoditas untuk kelanggengan sistem pasar
global. Sejak jatuhnya krisis ekonomi tahun 70an di Amerika serta Eropa,
perusahaan yang didukung negara-negara maju memasukkan sektor jasa sebagai
barang dagangannya. Disamping pendidikan sektor lain yang menyangkut hajat
hidup orang banyak seperti kesehatan juga dianggap sebagai beban bagi negara.
(Kompas.com).
Jangan sampai kemudian
muncul dengan kuat tuduhan dan stigmatisasi “orang miskin dilarang kuliah”.
Kita tentu ingin membayangkan bahwa di suatu saat akan tetapi didapati seorang
anak miskin di pedesaan yang pintar dapat masuk ke fakultas kedokteran, karena
peluang yang diberikan memang terbuka untuk hal itu.
Anak miskin yang
pintar di pedesaan memang tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti bimbingan
tes, bahkan juga tidak memiliki peluang untuk menambah jam pelajaran karena
harus membantu orang tuanya bekerja. Jika bisa menambah jam pelajarannya, maka
akan diusahakan dengan kemampuannya sendiri. Maka kepandaian tertentu yang
dimilikinya kemudian tidak akan ada gunanya, sebab dia akan kalah bersaing
dengan temannyayang anak orang kaya yang
memang disiapkan dengan matang untuk kepentingan pendidikannya. (Prof. Dr. Nur Syam, M.Si)
Kesimpulan
Pendidikan merupakan
kendaraan akan membawa bangsa kepada kecerdasan, oleh sebab itu Negara harus
bertanggung jawab penuh untuk keberlangsungan pendidikan rakyatnya seperti yang
tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 D Ayat 1 dan pasal 31 tentang “hak dan kebebasan
mendapatkan pendidikan”.
Sebagai contoh, anak
miskin yang pintar di pedesaan tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan
pendidikannya setinggi mungkin dikarenakan semakin tingginya biaya pendidikan
tinggi dengan lahirnya UU BHPT. Yang menyebabkan semakin jauhnya kesenjangan
antara masyarakat miskin dan kaya.
Yang sangat mendasar
dalam contoh diatas adalah bagaimana menjadikan PTN berbadan hukum tersebut
tidak menjadi alibi bagi PTN untuk mengembangkan sisi buruk “kapitalisme”
pendidikan atau “komersialisasi” pendidikan. Cita-cita mulia melalui PTN Badan
Hukum ini, diharapkan Perguruan Tinggi bisa lebih meningkatkan kualitas Tri
Dharma Perguruan Tinggi dengan lebih fleksibel tanpa ada “kekangan” dari negara
dan dapat memperoleh sumber dana dari pihak lain.
Referensi
:
Kompas.com
Buletin PERLAWANAN edisi : 4 Maret (internet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar