Minggu, 08 Januari 2017

Essay BHPT

JUAL BELI PENDIDIKAN TINGGI
“Seorang manusia tidak mencapai ketinggian penuh sampai ia dididik”. -Horace Mann -

Pendidikan merupakan suatu proses yang akan mengantar manusia untuk dapat mengembangkan dialektika atau pola berpikir agar dapat memberikan jawaban dalam menangapi problem-problem yang dihadapi, baik dalam konteks individu maupun dalam konteks sosial. Pendidikan merupakan kendaraan yang akan membawa bangsa kepada kecerdasan.
Pendidikan merupakan cerminan suatu bangsa dalam membangun peradaban di negrinya maupun peradaban dunia. Karut-marut dari sistem pendidikan di suatu Negeri menggambarkan kualitas dari sumber daya manusia di negara itu sendiri. Sistem pendidikan yang mendorong rakyatnya untuk senantiasa mengejar pendidikannya, sudah dipastikan akan lebih mudah mengembangkan bangsa dan negaranya, itulah sebabnya Negara Dunia I menempatkan pendidikan sebagai investasi utama pada negaranya.
Dunia penididkan Indonesia masih berada dalam keterpurukan bagi sebagian besar rakyat, pendidikan selama ini hanya menjadi alat legitimasi bagi penguasa yang bertujuan untuk mempertahankan kekuasaan. Pendidikan bagaikan menara gading, begitu megah jika dilihat tetapi tidak bisa dirasakan dan dinikmati keberadaanya oleh sebagian besar rakyat Indonesia.
International Conference on Implementing Knowledge Economy Strategies di Helsinki, Finlandia pada bulan Maret 2003, telah melahirkan apa yang disebut Knowledge Economy. Konsep ini adalah hal baru di sektor pendidikan yang dipakai di negara-negara dunia pertama.
Konsep Knowlegde Economy kemudian ditindak lanjuti dengan pertemuan WTO (World Trade Organisation) yang menghasilkan kesepakatan bersama antar negara-negara yang tergabung dalam WTO. Kesepakatan itu dirangkum dalam GATS (General Agreement On trade Service) yang menghasilkan keputusan cukup controversial bagi negara-negara dunia ketiga yaitu komersialisasi pendidikan atau pendidikan dimasukkan dalam bidang jasa yang layak untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan. Dan parahnya lagi, Indonesia meratifikasi kesepakatan tersebut. Follow up atau tindak lanjut dari ratifikasi kesepakatan tersebut adalah membuat Rancangan Undang Undang mengenai Badan Hukum Pendidikan.
Imbas dari ditandatanganinya kesepakatan GATS menyebabkan Indonesia turut serta mengkomersialisasikan pendidikan tinggi dengan adanya rancangan undang undang (RUU) pendidikan tinggi tahun 2003 atau UU BHP. Konsep ini diterapkan pertama kali di beberapa Perguruan Tinggi antara lain UGM, UI, ITB, IPB dengan status Perguruan Tinggi badan hukum milik Negara. (Kompas.com)
Dengan adanya RU BHPT ini pemerintah melanggar UUD 1945 yaitu pada pasal 28 D ayat 1 dan pasal 31 tentang hak kebebasan dan mendapatkan pendidikan. (Kompas.com) dikarnakan pemerintah tidak terlibat langsung dalam proses pendidikan tinggi di Indonesia, sehingga semakin lama biaya pendidikan di Perguruan Tinggi semakin mahal yang menyebabkan sulitnya masyarakat mencapai pendidikan setinggi mungkin.
Meskipun demikian adanya RUU BHP anggaran belanja negara untuk pendidikan yang setiap tahunnya terus naik akan dapat dikurangi serta dapat membuat pihak Perguruan Tinggi negeri PTN menjadi mandiri dalam mengelola birokrasi serta keuangannya.
Lepasnya Tanggung Jawab Negara terhadap Pendidikan Tinggi
Lahirnya RUU BHP merupakan tindak lanjut  atau  follow up dari UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Tujuannya, agar lembaga/institusi pendidikan berstatus badan hukum, dengan alasan otonomi, akuntabilitas dan efisiensi. Benarkah demikian? atau justru sebaliknya? Parahnya, RUU ini merupakan hasil ratifikasi pemerintah terhadap General Agreement On trade Service (GATS) WTO tentang jasa pendidikan. Padahal WTO merupakan salah satu organisasi dari negara-negara imperialis dan koorporasi-koorporasinya yang telah menyeret jutaan rakyat di belahan dunia dalam kemiskinan dan keterbelakangan.(PERLAWANAN edisi : 7, Oktober 2005, hlm. 5).
Otonomi dalam bentuk badan hukum ini membuka ruang kebebasan bagi Perguruan Tinggi untuk menjalankan kebijakan operasional serta pelaksanaan organisasi, keuangan, kemahasiswaan, ketenagaan dan sarana prasarana. Menurut pemerintah, otonomi melalui badan hukum Perguruan Tinggi ini ditujukan untuk meningkatkan kualitas Perguruan Tinggi dalam penyelenggaraan Tri Dharma (pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat). Secara logika sederhana, peningkatan kualitas pasti akan diikuti oleh peningkatan biaya yang harus dikeluarkan. Biaya inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan utama ketidakmampuan pemerintah dalam mewujudkan peningkatan kualitas tersebut, disamping faktor-faktor lain tentunya (meski demikian alasan pemerintah terkait kemampuan pembiayaan Perguruan Tinggi sangat lemah karena postur anggaran pendidikan yang masih harus dievaluasi dan potensi penerimaan pajak yang banyak hilang). Melalui PTN Badan Hukum ini, diharapkan Perguruan Tinggi bisa lebih meningkatkan kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan lebih fleksibel tanpa ada “kekangan” dari negara dan dapat memperoleh sumber dana dari pihak lain.
Orang Miskin Dilarang Kuliah
Upaya komersialisasi pendidikan tinggi oleh pemerintah ini tertuang dalam pasal 89 ayat (2) yang berbunyi Dana Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menjadi kata kunci karena disitu terdapat kata subsidi dimana kata ini merupakan kata-kata titipan ideologi neoliberalisme. Subsidi menjadi pembenar bahwa uang yang digunakan untuk memenuhi hak warga negara adalah beban bagi keuangan negara sehingga sewaktu-waktu subsidi dapat dicabut oleh pemerintah dengan berbagai alasan (harga Bahan Bakar Minyak yang juga dianggap subsidi bisa menjadi contoh). Memandang pendidikan sebagai jasa tidak bisa dilepaskan juga dari kesepakatan GATS yang juga ditandangani pemerintah. Pendidikan dianggap sebagai salah satu sektor yang bisa dijadikan komoditas untuk kelanggengan sistem pasar global.  Sejak jatuhnya krisis ekonomi tahun 70an di Amerika serta Eropa, perusahaan yang didukung negara-negara maju memasukkan sektor jasa sebagai barang dagangannya. Disamping pendidikan sektor lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti kesehatan juga dianggap sebagai beban bagi negara. (Kompas.com).
Jangan sampai kemudian muncul dengan kuat tuduhan dan stigmatisasi “orang miskin dilarang kuliah”.  Kita tentu ingin membayangkan bahwa di suatu saat akan tetapi didapati seorang anak miskin di pedesaan yang pintar dapat masuk ke fakultas kedokteran, karena peluang yang diberikan memang terbuka untuk hal itu.
Anak  miskin yang pintar di pedesaan memang tidak memiliki kemampuan untuk mengikuti bimbingan tes, bahkan juga tidak memiliki peluang untuk menambah jam pelajaran karena harus membantu orang tuanya bekerja. Jika bisa menambah jam pelajarannya, maka akan diusahakan dengan kemampuannya sendiri. Maka kepandaian tertentu yang dimilikinya kemudian tidak akan ada gunanya, sebab dia akan kalah bersaing dengan temannyayang  anak orang kaya yang memang disiapkan dengan matang untuk kepentingan pendidikannya. (Prof. Dr. Nur Syam, M.Si)
Kesimpulan
Pendidikan merupakan kendaraan akan membawa bangsa kepada kecerdasan, oleh sebab itu Negara harus bertanggung jawab penuh untuk keberlangsungan pendidikan rakyatnya seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 D Ayat 1 dan pasal 31 tentang “hak dan kebebasan mendapatkan pendidikan”.
Sebagai contoh, anak miskin yang pintar di pedesaan tidak memiliki kemampuan untuk melanjutkan pendidikannya setinggi mungkin dikarenakan semakin tingginya biaya pendidikan tinggi dengan lahirnya UU BHPT. Yang menyebabkan semakin jauhnya kesenjangan antara masyarakat miskin dan kaya.
Yang sangat mendasar dalam contoh diatas adalah bagaimana menjadikan PTN berbadan hukum tersebut tidak menjadi alibi bagi PTN untuk mengembangkan sisi buruk “kapitalisme” pendidikan atau “komersialisasi” pendidikan. Cita-cita mulia melalui PTN Badan Hukum ini, diharapkan Perguruan Tinggi bisa lebih meningkatkan kualitas Tri Dharma Perguruan Tinggi dengan lebih fleksibel tanpa ada “kekangan” dari negara dan dapat memperoleh sumber dana dari pihak lain.

Referensi :
Kompas.com
Buletin PERLAWANAN edisi : 4 Maret (internet)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar